Jumat, 24 Mei 2013

Perencanaan Manajemen K3 dalam Pencegahan Kecelakaan Kerja Konstruksi



Laporan K3



JUDUL

Perencanaan Manajemen K3 dalam Pencegahan Kecelakaan Kerja Konstruksi

      Dibuat oleh:
Tengku Razil Kadri ( 5315102704 )



UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA
JAKARTA
2012
ABSTRAK

Satu dari beberapa karakteristik proyek konstruksi yaitu mempunyai resiko yang tinggi terhadap kecelakaan. Dengan semakin banyaknya penggunaan alat-alat kerja yang canggih, walaupun telah dilengkapi dengan system keamanan, resiko kecelakaan tetap semakin besar. Selanjutnya sesuai teori Maslow, kebutuhan rasa aman akan muncul setelah kebutuhan tingkat pertama (phisik dan biologis) terpenuhi, sehingga mulai sekarang keselamatan merupakan hal yang harus diusahakan pemenuhannya. Teori lama menganggap bahwa kecelakaan terjadi karena kesalahan pekerja (individual).

Sekarang, kecelakaan dianggap akibat dari faktor organisasi dan manajemen yang salah. Sejalan dengan teori-teori terbaru, maka peran manajemen sangat berarti dalam pencegahan kecelakaan. Dalam tulisan ini, peran manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) dibahas dari fungsifungsi manajemen, sumber-sumber daya yang digunakan, dan aspek lain yang relevan.




PENDAHULUAN

Angka kecelakaan kerja di Indonesia masih termasuk buruk. Pada tahun 2004 saja, lebih dari seribu tujuh ratus pekerja meninggal di tempat kerja. Menurut Juan Somavia, Dirjen ILO, industri konstruksi termasuk paling rentan kecelakaan, diikuti dengan anufaktur makanan dan minuman (Kompas, 1/05/04).

Tidak saja di negara-negara berkembang, di negara maju sekalipun kecelakaan kerja konstruksi masih memerlukan perhatian serius. Penelitian yang dilakukan oleh Duff (1998) dan Alves Diaz (1995) menyatakan hasil analisa statistik dari beberapa negara-negara menunjukkan peristiwa tingkat kecelakaan fatal pada proyek konstruksi adalah lebih tinggi dibanding rata-rata untuk semua industri, dalam Suraji (2000).

Dahulu, para ahli menganggap suatu kecelakaan disebabkan oleh tindakan pekerja yang salah. Sekarang anggapan itu telah bergeser bahwa kecelakaan kerja bersumber
kepada faktor-faktor organisasi dan manajemen. Para pekerja dan pegawai mestinya dapat diarahkan dan dikontrol oleh pihak manajemen sehingga tercipta suatu kegiatan kerja yang aman.

Sejalan dengan teori-teori penyebab kecelakaan yang terbaru, maka pihak manajemen harus bertanggungjawab terhadap keselamatan kerja para pekerjanya. Tulisan ini akan membahas peranan manajemen dalam usaha-usaha pencegahan kecelakaan kerja di proyek konstruksi.


TINJAUAN UMUM

1. Tinjauan Historis

Secara historis, keselamatan kerja telah banyak diperhatikan sejak zaman dahulu. Hammurabi, raja Babilonia pada tahun 2040 SM telah membuat dan memberlakukan suatu peraturan bangunan yang dikenal sebagai The Code of Hammurabi. Beberapa pasal dalam peraturan tersebut antara lain: (a) apabilaseseorang membuat bangunan dan bangunan tersebut runtuh sehingga menimbulkan korban jiwa maka pembuat bangunan tersebut harus dihukum mati dan (b) apabila bangunan yang dibuat runtuh dan menimbulkan kerusakan pada hak milik orang lain maka pembuat bangunan harus mengganti semua kerusakan yang ditimbulkannya. Jadi aspek keamanan telah menjadi persyaratan utama yang mutlak harus dipenuhi sejak zaman dahulu kala, Suhendro (2003). Lima abad kemudian, Mozai raja setelah Hammurabi mengharuskan para ahli bangunan bertanggung jawab pula pada keselamatan para pelaksana dan pekerjanya, Suma’mur (1981).

Masalah-masalah keselamatan kemudian meluas ke Yunani, Romawi dan lain-lain, misalnya di Perancis tahun 1840, Inggris tahun 1644, Belgia tahun 1810, Denmark dan Swiss tahun 1877, Amerika Serikat tahun 1886, dan sebagainya. Selanjutnya diadakan konggres-konggres internasional misalnya di Paris tahun 1889, di Bern tahun 1891 dan di Milan tahun 1894, Suma’mur (1981). Pada abad sembilan belas, di tahun 1904 perhatian terhadap kecelakaan dan kondisi kerja di dalam pekerjaan pembangunan diadakan untuk melayani permintaan masyarakat, tetapi sampai 1926 peraturan pembangunan yang telah dihasilkan adalah dalam lingkup terbatas yaitu hanya diberlakukan bagi lokasi yang di atasnya pada gaya mekanis yang digunakan. Dari 1930 sampai 1948 peraturan-peraturan tersebut telah menjadi ketinggalan jaman sebab intervensi Perang Dunia Kedua, Davies (1996).

Setelah itu, karena bertambahnya angka kecelakaan, maka diberlakukan berbagai peraturan baru, misalnya The Building (Safety Health and Welfare) Regulation 1948; The Construction (General Provision) Regulation 1961; Contruction (Health and Welfare) Regulation 1966; The Health and safety at Work (HSW) Act 1974; Management of Health and Safety at Work Regulation 1992; Construction Design and Management (CDM) 1994; The Construction Health, Safety and Welfare (CHSW) Regulation 1996, Davies (1996). Kemudian muncul Health and safety in roof work HSG33 (Second edition) HSE Books 1998 ISBN 0 7176 1425 5; Health and safety in cons-truction HSG150 (Second edition) HSE Books 2001 ISBN 0 7176 2106 5 (www.hsebooks.co.uk;www.hse.gov.uk). Untuk pekerjaan-pekerjaan secara umum, berlaku pula OHSAS 18001 tahun 1999.

Sedangkan di Indonesia, keselamatan kerja sudah diadakan sejak zaman penjajahan
Belanda, namun sasarannya lebih banyak ke hasil kerja dan alat-alat kerja dibanding memperhatikan pekerjanya. Program itu lebih dikenal dengan “kerja paksa”. Setelah merdeka, perhatian tentang keselamatan dan kesehatan serta kesejahteraan pekerja mulai banyak diperhatikan terbukti dari peraturan-peraturan dan undang-undang yang dihasilkan. Bersumber dari pasal 27 ayat 2 UUD 1945, terbit beberapa UU dan
kemudian  PP dan Keputusan Menteri, yang antara lain sebagai berikut. UU Kerja tahun
1951, UU Kecelakaan tahun 1951, PP tentang istirahat bagi pekerja tahun 1954, UU No. 1 tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja, UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketena-gakerjaan, Per Menaker No. 01/1980 tentang K3 pada Konstruksi Bangunan, SKB Men PU dan Menaker No. 174/Men/1986 – 104/kpts/1986 tentang Keselamatan & Kesehatan Kerja pada Tempat Kegiatan Konstruksi, Keputusan Men PU No. 195/kpts/1989 tentang K3 pada tempat konstruksi di lingkungan PU, Peraturan Menteri
Tenaga Kerja Nomor : PER.05/MEN/1996 tentang Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja., Surat Edaran Menteri PU Nomor: 03/SE/M/2005 Perihal Penyelenggaraan Jasa Konstruksi untuk Instansi Pemerintah TA 2005. Walaupun telah banyak usaha yang dijalankan, namun Indonesia masih menempati urutan ke lima (terburuk) di kawasan ASEAN setelah Singapura sebagai urutan pertama yang disusul oleh Malaysia, Thailand dan Filipina (Subdit Kesehatan Kerja dan Lingkungan Kerja Depnakertrans, 12/5/05).

2. Beberapa Kasus Kecelakaan Kerja

Data tentang kecelakaan kerja secara umum dapat digambarkan sebagai berikut. Di Singapura 6,3 per 1000 pekerja di tahun 1998 (data dari aposho-kohsa). Di Malaysia, angka kecelakaan tercatat 16 tiap 1000 pekerja pada tahun 1994 dan 11 per 1000 pekerja pada tahun 2000 (Regional Conference on OSH di Kuala Lumpur pada 20th March 2001). Di Thailand terdapat sekitar 769 orang meninggal dalam kecelakaan kerja tahun 2003, atau bertambah lebih dari 18 persen dibandingkan dengan tingkat kecelakaan pada tahun 2002. Jumlah korban juga bertambah, sekitar 189.621 orang pada tahun 2001 hingga lebih dari 200.000 orang pada tahun 2003, atau setara dengan 600 kecelakaan setiap hari. (Kompas 1/5/2004). Di Indonesia tahun 2004, 1.736 pekerja meninggal di tempat kerja, 9.106 mengalami cacat dan 84.576 lainnya sementara tidak mampu bekerja tetapi kemudian dapat bekerja kembali, Depnakertrans (2005).

Sementara itu, di negara maju misalnya Inggris, kecelakaan fatal sudah relatif kecil, yaitu 4 dari 100.000 pekerja di tahun 1999, Howarth (2000). Di Amerika, angka persentase kecelakaan pekerjaan konstruksi mencapai 12%, Barrie (1990). Oleh karena itu di Indonesia masih perlu usaha-usaha yang terencana dan terkoordinasi agar dapat mencapai hasil baik, yang pada gilirannya akan meningkatkan citra di forum internasional.

Untuk kasus-kasus kecelakaan kerja konstruksi, beberapa kejadian yang sempat dicatat dapat disampaikan pada tulisan ini adalah sebagai berikut: Lima buruh bangunan tewas terjatuh dari lantai 15 di proyek gedung di Slipi Jaya Jakarta, Suara Merdeka (5/9/1991); Empat pekerja tewas tertimbun reruntuhan bangunan yang mereka kerjakan di Medan, Kompas (25/ 3/1991); Empat tewas terjebak gas beracun pada proyek pembersihan kerak gorong-gorong saluran uap di PLTU Semarang, Suara Merdeka (5/6/1991) dan hal ini terulang lagi pada peristiwa di Jakarta tahun 2005; Jembatan layang Grogol seberat 600 ton ambruk dengan korban tewas 3 orang, Kompas (23/3/1996); Dua pekerja tewas tertimpa beton, sementara sembilan pekerja lain terluka dan sore harinya dua lainnya tewas kena setrum di proyek pembangunan Apartemen di Kelapa Gading Jakarta, Kompas (6/6/2003); Pembangunan ruko di Sunter akibat salah metode pelaksanaan, Kompas Cyber Media (3/ 6/2004); Balok penopang jembatan Suramadu runtuh, seorang pekerja tewas, Suara Merdeka Cyber News (14/6/2004). Dinding bandara ambruk 8 tewas di Dubai pada pembangunan terminal baru bandara yang direncanakan berbentuk satu sayap pesawat raksasa sepanjang hampir satu kilometer, Suara Merdeka CyberNews (28/9/2004)



TINJAUAN PUSTAKA

1. Teori Penyebab Kecelakaan dan Manajemen K3

Kecelakaan adalah kejadian merugikan yang tidak direncanakan, tidak terduga, tidak diharapkan serta tidak ada unsur kesengajaan, Hinze (1977). Ada beberapa teori yang menjelaskan penyebab suatu kecelakaan. Dahulu teori penyebab kecelakaan memandang bahwa kecelakaan disebabkan oleh tindakan pekerja (orang) yang salah (misalnya pada The Accident-Proneness Theory). Semenjak dikenalkannya The Chain-of-Events Theory, The Domino Theory, dan The Distraction Theory, maka pihak organisasi dan manajemenlah yang dianggap berperan sebagai penyebab suatu kecelakaan.

Anggapan tentang kecelakaan kerja yang bersumber kepada tindakan yang tidak aman yang dilakukan pekerja telah bergeser dengan anggapan bahwa kecelakaan kerja bersumber kepada faktorfaktor organisasi dan manajemen (Andi, 2005). Pihak manajemen harus bertanggungjawab terhadap keselamatan. Para pekerja dan pegawai mestinya dapat diarahkan dan dikontrol oleh pihak manajemen sehingga tercipta suatu kegiatan kerja yang aman. Pada teori yang terbaru makin terlihat bahwa penyebab kecelakaan kerja semakin komplek. Teori-teori baru itu antara lain: Multiple Caucation Model, Suraji (2000) dan Constraint Respone Theory, Suraji (2001).

Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (MK3) adalah bagian dari system manajemen secara keseluruhan yang meliputi struktur organisasi, perencanaan, tanggung jawab, pelaksanaan, prosedur, proses dan sumber daya yang dibutuhkan bagi pengembangan, penerapan, pencapaian, pengkajian dan pemeliharaan K3 dalam rangka pengendalian risiko yang berkaitan dengan kegiatan kerja, guna terciptanya tempat kerja yang aman, efisien dan produktif. Berangkat dari kajian Total Project Management (ECI,1995), keselamatan perlu diintegrasikan dalam proyek, mulai dari konsepsi sampai proyek selesai (from conception to completion).

Dikatakan selanjutnya bahwa kegiatan penilaian tentang keselamatan, kesehatan dan lingkungan perlu dimulai dari tahap perencanaan proyek (project plan), kontrak, evaluasi tender, konstruksi, sampai ke tahap pemeliharaan dan bahkan sampai ke perobohan (demolition) (ECI,1995). Konsep rasional Total Safety Control adalah suatu pengintegrasian tindakan manajemen dan tindakan pelaksanaan yang sinergis untuk mempromosikan suatu proses konstruksi yang aman (Suraji,2004). Ada banyak pendekatan dalam manajemen K3, diantaranya menurut OHSAS 18001, dan menurut TQM di mana keselamatan merupakan suatu pusat dan focus integral dalam program pengendalian mutu terpadu, Fiegenbaum (1991) yang harus ditingkatkan secara terus menerus untuk memenuhi kepuasan pelanggan (intern-ekstern). Pada tulisan ini akan dibahas dari fungsi-fungsi manajemen, sumber-sumber yang terlibat, dan beberapa aspek yang relevan.


2. Tinjauan dari Fungsi-fungsi Manajemen

Apabila dilihat dari fungsi-fungsi manajemen, terdapat fungsi perencanaan, organisasi, pelaksanaan, dan pengawasan. Pada fungsi perencanaan, disamping terfokus pada tugas operasional juga harus mencakup usaha-usaha keselamatan dan kesehatan kerja (K3), yang dipersiapkan untuk pencegahan terjadinya kecelakaan. Tanggung jawab harus digariskan dengan tegas agar tidak terjadi kesimpangsiuran yang justru dapat membahayakan.

Perlu pula menganalisis bahaya-bahaya apa saja yang mungkin akan timbul pada suatu pekerjaan dan bagaimana mengatasinya. Dalam suatu kontrak kerja pekerjaan keinsinyuran perlu dibuat pasal – pasal yang mengatur secara preventif
keselamatan kerja dengan menunjuk UU dan peraturan yang berlaku (Yasin: 2003). Sebagai contoh menunjuk UU Ketenagakerjaan, UU Jamsostek, UU Kerja dan sebagainya). Kontrakkontrak internasional (FIDIC, SIA, JTC) telah mencantumkan artikel atau pasal tentang K3. Proses perencanaan keselamatan untuk masa depan (tahap konstruksi) juga diusulkan oleh Chua DKH & YM Goh (2004)

Pada fungsi organisasi, perlu dibentuk satuan tugas yang dapat melaksanakan K3 dengan baik. Untuk itu perlu disediakan kantor yang mencukupi dan organisasi yang memadai. Dalam suatu perusahaan perlu dibentuk P2K3 (Panitia Penyelenggara K3) yang bertanggung jawab atas keselamatan dan kesehatan kerja di kegiatan industri. Hinze & Figone (1988) menyarankan diselenggarakan safety meeting untuk supervisor lapangan dan owner ikut dalam safety meeting, dan pekerjakan supervisor keselamatan secara full-time. Liska et al. (1993) juga mengusulkan adanya safety meeting. Pada fungsi pelaksanan, apa yang telah direncanakan hendaknya dilaksanakan dengan baik. Karena kecelakaan yang terjadi sebagian besar ditimbulkan oleh faktor manusia, manajemen dituntut memberikan pengarahan pelaksanaan dan petunjuk yang jelas (directing) dan koordinasi.

Banyak kecelakaan terjadi karena pekerja masih baru dan belum familiar dengan proses dan alat kerja. Untuk melaksanakan itu semua diperlukan ketrampilan manajemen antara lain komunikasi dan kepemimpinan. Sehubungan dengan ini Liska et al. (1993) mengusulkan Preproject Safety termasuk safety goal, safety policy & procedure, safety personal, safety budget. Selanjutnya dikatakan bahwa training dan insentive terhadap keselamatan punya pengaruh terhadap pencegahan kecelakaan.

Fungsi pengawasan merupakan fungsi yang penting karena merupakan tindakan control apakah semua yang direncanakan itu telah dilaksanakan, dan apakah ada kendala dan persoalan-persoalan yang perlu dicari penyelesaiannya.Untuk menjamin bahwa system manajemen K3 dilaksanakan dengan baik, pengawas dari Dep. Ketenagakerjaan melaksanakan asesmen yang antara lain meliputi:
a)    pembangunan dan pemeliharaan komitmen K3,
b)    strategi dokumentasi dan pengendalian dokumen,
c)    keamanan kerja dan sandart pemantauan,
d)    pelaporan dan perbaikan kekurangan,
e)    pengumpulan dan pemanfaatan data,
f)     peningkatan kesadaran dan pelatihan karyawan/SDM

Sertifikat yang menyatakan suatu perusahaan/kegiatan ekonomi telah menerapkan Sistem Manajemen K3 dengan benar dan baik diterbitkan oleh pihak berwenang (Depnaker) dan berlaku untuk 3 tahun. Selain itu, itu untuk menjamin konsistensi sistem manajemen K3, dilaksanakan audit berkala oleh petugas berwenang. Pada setiap minggu/bulan, perlu adanya meeting untuk membahas segala hal yang menyangkut pelaksanaan K3 diperusahaan, sehingga semua informasi dan persoalan dapat diketahui oleh seluruh bagian yang terkait





PEMBAHASAN

Sebagai suatu kegiatan industri, proyek konstruksi mempunyai berbagai sumber (resources). Menurut Harold Kerzner (1995), sumber-sumber itu adalah manusia, uang, peralatan, fasilitas, material dan informasi. Beberapa ahli yang lain mengemukakan bahwa sumber-sumber tersebut dapat disingkat menjadi 5M yaitu Man. Material, Money, Machine, dan Method. Semua fungsi manajemen harus dikenakan kepada semua komponen usaha tersebut. Pada aspek manusia, diperlukan perencanaan/ pengaturan tentang jam kerja, istirahat kerja, pelatihan, dan pengarahan tentang K3.

Pada aspek uang, diperlukan alokasi biaya untuk pencegahan kecelakaan. Saat ini biaya K3 belum secara eksplisit tercantum dalam penawaran biaya proyek, sementara para kontraktor sudah dibebani dengan biaya asuransi jaminan kecelakaan kerja. Menurut Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. Kep-196/Men/1999 tentang penyelenggaraan program jaminan sosial tenaga kerja bagi tenaga kerja harian lepas, borongan dan perjanjian kerja waktu tertentu pada sektor jasa konstruksi.



Seharusnya besar biaya keselamatan kerja ini secara eksplisit dimasukkan dalam penawaran proyek, sehingga terjamin pelaksanaannya. Dalam proyek perumahan, tingkat sistem kompetisi cenderung memaksimalkan produktivitas dan meminimalkan harga, juga untuk biaya keselamatan, Johnson (1996). Manajemen keselamatan kerja yang efektif akan menguntungkan perusahaan karena kecelakaan akan menimbulkan biaya langsung maupun biaya tidak langsung (Levitt, 1993).

 Biaya langsung terdiri dari biaya medis, premi untuk asuransi, kerugian hak milik, Oberlender (2000). Biaya tak langsung adalah biaya tambahan lain, pengurangan produktivitas, keterlambatan jadwal, bertambahnya waktu administratif, kerusakan fasilitas, dan hal yang makin sulit diukur tetapi riil yaitu penderitaan manusia dan menurunnya moril, Levitt (1993). Juga nama perusahaan akan terkena dampak buruk yang dapat berakibat berkurangnya pelanggan yang jelas berpengaruh terhadap masuknya dana perusahaan.

Berdasarkan komponen material dan mesin/ alat yang dipakai, haruslah digunakan yang sesuai dengan standar yang disyaratkan. Penggunaan/pembuatan beton harus yang sesuai dengan kekuatan yang ditetapkan oleh spesifikasi, karena penggunaan beton yang kurang akan dapat menyebabkan kecelakaan baik selama tahap kontruksi maupun tahap pemanfaatan bangunan. Begitu pula dengan material yang lain. Alat/mesin yang dipakai harus dijamin yang masih dalam kondisi baik yang dibuktikan dengan perawatan yang teratur dan sertifikat kemampuan alat yang masih berlaku. Keran (crane) dan rantai baja misalnya harus betul-betul dicek dari segi keselamatan pemakaiannya. Metode kerja/pelaksanaan berkembang karena tuntutan manusia untuk membangun di tempat-tempat yang sulit dengan bentuk bentuk bangunan yang sangat bervariasi/sulit, serta keinginan penggunaan dana yang minimal.

Metode kerja/pelaksanaan yang diciptakan itu harus ditinjau dari segi keselamatan. Dengan kata lain, alat-alat keselamatan apa yang harus disediakan dalam menggunakan suatu metode pelaksanaan? Proyek proyek gedung Jakarta Tower, jembatan Barelang, jembatan Suramadu dan proyek besar lainnya jelas memerlukan metode pelaksanaan yang harus dikenali hazard yang ada sedini mungkin. Informasi, merupakan sumber yang sekarang sampai masa datang sangat berperan dalam pencegahan kecelakaan.

Informasi tentang kecelakaan dan sebab-sebab nya dapat ditampung dalam suatu file yang terbuka untuk umum sehingga para pelaksana/kontraktor suatupekerjaan dapat mengakses informasi tentang kecelakaan yang timbul pada pekerjaan sejenis. Selanjutnya mereka diharapkan dapat menghindari kecelakaan itu. Informasi-informasi tersebut dapat dihimpun dalan suatu web-site sehingga semua pihak dapat mengakses setiap saat. Perlunya dukungan computer-based system dalam bidang Keselamatan dan Kesehatan Kerja telah diusulkan oleh Goh YM (2004).



KESIMPULAN

Dengan meningkatnya penggunaan alat-alat yang lebih canggih dan tantangan pekerjaan teknik sipil yang semakin sulit, maka angka kecelakaan kerja konstruksi bisa semakin tinggi. Sedangkan pada pihak pekerja, kebutuhan akan keselamatan kian menjadi tuntutan seiring dengan telah mulai terpenuhinya kebutuhan – kebutuhan dasar. Oleh karena itu mulai sekarang harus ada usaha-usaha serius untuk mengurangi kecelakaan kerja konstruksi. Manajemen K3 sangat berperan dalam pencegahan kecelakaan di proyek konstruksi. Peran tersebut mulai dari perancanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, pengawasan. Selanjutnya dapat pula ditinjau dari komponen manusia, material, uang, mesin/alat, metode kerja, informasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar