Laporan
K3
JUDUL
Perencanaan
Manajemen K3 dalam Pencegahan Kecelakaan Kerja Konstruksi
Dibuat oleh:
Tengku Razil Kadri ( 5315102704 )
UNIVERSITAS
NEGERI JAKARTA
JAKARTA
2012
ABSTRAK
Satu dari
beberapa karakteristik proyek konstruksi yaitu mempunyai resiko yang tinggi
terhadap kecelakaan. Dengan semakin banyaknya penggunaan alat-alat kerja yang
canggih, walaupun telah dilengkapi dengan system keamanan, resiko kecelakaan
tetap semakin besar. Selanjutnya sesuai teori Maslow, kebutuhan rasa aman akan muncul
setelah kebutuhan tingkat pertama (phisik dan biologis) terpenuhi, sehingga
mulai sekarang keselamatan merupakan hal yang harus diusahakan pemenuhannya.
Teori lama menganggap bahwa kecelakaan terjadi karena kesalahan pekerja (individual).
Sekarang,
kecelakaan dianggap akibat dari faktor organisasi dan manajemen yang salah.
Sejalan dengan teori-teori terbaru, maka peran manajemen sangat berarti dalam
pencegahan kecelakaan. Dalam tulisan ini, peran manajemen Keselamatan dan Kesehatan
Kerja (K3) dibahas dari fungsifungsi manajemen, sumber-sumber daya yang
digunakan, dan aspek lain yang relevan.
PENDAHULUAN
Angka kecelakaan
kerja di Indonesia masih termasuk buruk. Pada tahun 2004 saja, lebih dari seribu
tujuh ratus pekerja meninggal di tempat kerja. Menurut Juan Somavia, Dirjen
ILO, industri konstruksi termasuk paling rentan kecelakaan, diikuti dengan
anufaktur makanan dan minuman (Kompas, 1/05/04).
Tidak saja di negara-negara
berkembang, di negara maju sekalipun kecelakaan kerja konstruksi masih memerlukan
perhatian serius. Penelitian yang dilakukan oleh Duff (1998) dan Alves Diaz
(1995) menyatakan hasil analisa statistik dari beberapa negara-negara
menunjukkan peristiwa tingkat kecelakaan fatal pada proyek konstruksi adalah
lebih tinggi dibanding rata-rata untuk semua industri, dalam Suraji (2000).
Dahulu, para ahli
menganggap suatu kecelakaan disebabkan oleh tindakan pekerja yang salah.
Sekarang anggapan itu telah bergeser bahwa kecelakaan kerja bersumber
kepada faktor-faktor
organisasi dan manajemen. Para pekerja dan pegawai mestinya dapat diarahkan dan
dikontrol oleh pihak manajemen sehingga tercipta suatu kegiatan kerja yang aman.
Sejalan dengan
teori-teori penyebab kecelakaan yang terbaru, maka pihak manajemen harus
bertanggungjawab terhadap keselamatan kerja para pekerjanya. Tulisan ini akan
membahas peranan manajemen dalam usaha-usaha pencegahan kecelakaan kerja di proyek
konstruksi.
TINJAUAN
UMUM
1.
Tinjauan Historis
Secara historis,
keselamatan kerja telah banyak diperhatikan sejak zaman dahulu. Hammurabi, raja
Babilonia pada tahun 2040 SM telah membuat dan memberlakukan suatu peraturan
bangunan yang dikenal sebagai The Code of Hammurabi. Beberapa pasal dalam peraturan
tersebut antara lain: (a) apabilaseseorang membuat bangunan dan bangunan tersebut
runtuh sehingga menimbulkan korban jiwa maka pembuat bangunan tersebut harus dihukum
mati dan (b) apabila bangunan yang dibuat runtuh dan menimbulkan kerusakan pada
hak milik orang lain maka pembuat bangunan harus mengganti semua kerusakan yang
ditimbulkannya. Jadi aspek keamanan telah menjadi persyaratan utama yang mutlak
harus dipenuhi sejak zaman dahulu kala, Suhendro (2003). Lima abad kemudian,
Mozai raja setelah Hammurabi mengharuskan para ahli bangunan bertanggung jawab
pula pada keselamatan para pelaksana dan pekerjanya, Suma’mur (1981).
Masalah-masalah keselamatan
kemudian meluas ke Yunani, Romawi dan lain-lain, misalnya di Perancis tahun 1840,
Inggris tahun 1644, Belgia tahun 1810, Denmark dan Swiss tahun 1877, Amerika Serikat
tahun 1886, dan sebagainya. Selanjutnya diadakan konggres-konggres
internasional misalnya di Paris tahun 1889, di Bern tahun 1891 dan di Milan
tahun 1894, Suma’mur (1981). Pada abad sembilan belas, di tahun 1904 perhatian terhadap
kecelakaan dan kondisi kerja di dalam pekerjaan pembangunan diadakan untuk melayani
permintaan masyarakat, tetapi sampai 1926 peraturan pembangunan yang telah dihasilkan
adalah dalam lingkup terbatas yaitu hanya diberlakukan bagi lokasi yang di
atasnya pada gaya mekanis yang digunakan. Dari 1930 sampai 1948
peraturan-peraturan tersebut telah menjadi ketinggalan jaman sebab intervensi Perang
Dunia Kedua, Davies (1996).
Setelah itu, karena
bertambahnya angka kecelakaan, maka diberlakukan berbagai peraturan baru,
misalnya The Building (Safety Health and Welfare) Regulation 1948; The Construction
(General Provision) Regulation 1961; Contruction (Health and Welfare) Regulation
1966; The Health and safety at Work (HSW) Act 1974; Management of Health and
Safety at Work Regulation 1992; Construction Design and Management (CDM) 1994;
The Construction Health, Safety and Welfare (CHSW) Regulation 1996, Davies
(1996). Kemudian muncul Health and safety in roof work HSG33 (Second edition)
HSE Books 1998 ISBN 0 7176 1425 5; Health and safety in cons-truction HSG150
(Second edition) HSE Books 2001 ISBN 0 7176 2106 5 (www.hsebooks.co.uk;www.hse.gov.uk).
Untuk pekerjaan-pekerjaan secara umum, berlaku pula OHSAS 18001 tahun
1999.
Sedangkan di Indonesia, keselamatan
kerja sudah diadakan sejak zaman penjajahan
Belanda, namun
sasarannya lebih banyak ke hasil kerja dan alat-alat kerja dibanding memperhatikan
pekerjanya. Program itu lebih dikenal dengan “kerja paksa”. Setelah merdeka, perhatian
tentang keselamatan dan kesehatan serta kesejahteraan pekerja mulai banyak
diperhatikan terbukti dari peraturan-peraturan dan undang-undang yang
dihasilkan. Bersumber dari pasal 27 ayat 2 UUD 1945, terbit beberapa UU dan
kemudian PP dan Keputusan Menteri, yang antara lain
sebagai berikut. UU Kerja tahun
1951, UU Kecelakaan
tahun 1951, PP tentang istirahat bagi pekerja tahun 1954, UU No. 1 tahun 1970
tentang Keselamatan Kerja, UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketena-gakerjaan, Per
Menaker No. 01/1980 tentang K3 pada Konstruksi Bangunan, SKB Men PU dan Menaker
No. 174/Men/1986 – 104/kpts/1986 tentang Keselamatan & Kesehatan Kerja pada
Tempat Kegiatan Konstruksi, Keputusan Men PU No. 195/kpts/1989 tentang K3 pada
tempat konstruksi di lingkungan PU, Peraturan Menteri
Tenaga Kerja Nomor :
PER.05/MEN/1996 tentang Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja.,
Surat Edaran Menteri PU Nomor: 03/SE/M/2005 Perihal Penyelenggaraan Jasa
Konstruksi untuk Instansi Pemerintah TA 2005. Walaupun telah banyak usaha yang dijalankan,
namun Indonesia masih menempati urutan ke lima (terburuk) di kawasan ASEAN
setelah Singapura sebagai urutan pertama yang disusul oleh Malaysia, Thailand
dan Filipina (Subdit Kesehatan Kerja dan Lingkungan Kerja Depnakertrans,
12/5/05).
2. Beberapa Kasus Kecelakaan Kerja
Data tentang
kecelakaan kerja secara umum dapat digambarkan sebagai berikut. Di Singapura
6,3 per 1000 pekerja di tahun 1998 (data dari aposho-kohsa). Di Malaysia, angka
kecelakaan tercatat 16 tiap 1000 pekerja pada tahun 1994 dan 11 per 1000
pekerja pada tahun 2000 (Regional Conference on OSH di Kuala Lumpur pada 20th
March 2001). Di Thailand terdapat sekitar 769 orang meninggal dalam kecelakaan
kerja tahun 2003, atau bertambah lebih dari 18 persen dibandingkan dengan
tingkat kecelakaan pada tahun 2002. Jumlah korban juga bertambah, sekitar
189.621 orang pada tahun 2001 hingga lebih dari 200.000 orang pada tahun 2003,
atau setara dengan 600 kecelakaan setiap hari. (Kompas 1/5/2004). Di Indonesia tahun
2004, 1.736 pekerja meninggal di tempat kerja, 9.106 mengalami cacat dan 84.576
lainnya sementara tidak mampu bekerja tetapi kemudian dapat bekerja kembali,
Depnakertrans (2005).
Sementara itu, di
negara maju misalnya Inggris, kecelakaan fatal sudah relatif kecil, yaitu 4
dari 100.000 pekerja di tahun 1999, Howarth (2000). Di Amerika, angka
persentase kecelakaan pekerjaan konstruksi mencapai 12%, Barrie (1990). Oleh
karena itu di Indonesia masih perlu usaha-usaha yang terencana dan terkoordinasi
agar dapat mencapai hasil baik, yang pada gilirannya akan meningkatkan citra di
forum internasional.
Untuk kasus-kasus
kecelakaan kerja konstruksi, beberapa kejadian yang sempat dicatat dapat
disampaikan pada tulisan ini adalah sebagai berikut: Lima buruh bangunan tewas terjatuh
dari lantai 15 di proyek gedung di Slipi Jaya Jakarta, Suara Merdeka
(5/9/1991); Empat pekerja tewas tertimbun reruntuhan bangunan yang mereka
kerjakan di Medan, Kompas (25/ 3/1991); Empat tewas terjebak gas beracun pada proyek
pembersihan kerak gorong-gorong saluran uap di PLTU Semarang, Suara Merdeka (5/6/1991)
dan hal ini terulang lagi pada peristiwa di Jakarta tahun 2005; Jembatan layang
Grogol seberat 600 ton ambruk dengan korban tewas 3 orang, Kompas (23/3/1996);
Dua pekerja tewas tertimpa beton, sementara sembilan pekerja lain terluka dan
sore harinya dua lainnya tewas kena setrum di proyek pembangunan Apartemen di Kelapa
Gading Jakarta, Kompas (6/6/2003); Pembangunan ruko di Sunter akibat salah metode
pelaksanaan, Kompas Cyber Media (3/ 6/2004); Balok penopang jembatan Suramadu runtuh,
seorang pekerja tewas, Suara Merdeka Cyber News (14/6/2004). Dinding
bandara ambruk 8 tewas di Dubai pada pembangunan terminal baru bandara yang
direncanakan berbentuk satu sayap pesawat raksasa sepanjang hampir satu
kilometer, Suara Merdeka CyberNews (28/9/2004)
TINJAUAN
PUSTAKA
1.
Teori Penyebab Kecelakaan dan Manajemen K3
Kecelakaan adalah
kejadian merugikan yang tidak direncanakan, tidak terduga, tidak diharapkan
serta tidak ada unsur kesengajaan, Hinze (1977). Ada beberapa teori yang menjelaskan
penyebab suatu kecelakaan. Dahulu teori penyebab kecelakaan memandang bahwa
kecelakaan disebabkan oleh tindakan pekerja (orang) yang salah (misalnya pada The
Accident-Proneness Theory). Semenjak dikenalkannya The
Chain-of-Events Theory, The Domino Theory, dan The Distraction Theory,
maka pihak organisasi dan manajemenlah yang dianggap berperan sebagai
penyebab suatu kecelakaan.
Anggapan tentang kecelakaan
kerja yang bersumber kepada tindakan yang tidak aman yang dilakukan pekerja telah
bergeser dengan anggapan bahwa kecelakaan kerja bersumber kepada faktorfaktor organisasi
dan manajemen (Andi, 2005). Pihak manajemen harus bertanggungjawab terhadap
keselamatan. Para pekerja dan pegawai mestinya dapat diarahkan dan dikontrol oleh
pihak manajemen sehingga tercipta suatu kegiatan kerja yang aman. Pada teori
yang terbaru makin terlihat bahwa penyebab kecelakaan kerja semakin komplek.
Teori-teori baru itu antara lain: Multiple Caucation Model, Suraji (2000)
dan Constraint Respone Theory, Suraji (2001).
Manajemen Keselamatan
dan Kesehatan Kerja (MK3) adalah bagian dari system manajemen secara
keseluruhan yang meliputi struktur organisasi, perencanaan, tanggung jawab,
pelaksanaan, prosedur, proses dan sumber daya yang dibutuhkan bagi pengembangan,
penerapan, pencapaian, pengkajian dan pemeliharaan K3 dalam rangka pengendalian
risiko yang berkaitan dengan kegiatan kerja, guna terciptanya tempat kerja yang
aman, efisien dan produktif. Berangkat dari kajian Total Project Management (ECI,1995),
keselamatan perlu diintegrasikan dalam proyek, mulai dari konsepsi sampai
proyek selesai (from conception to completion).
Dikatakan selanjutnya
bahwa kegiatan penilaian tentang keselamatan, kesehatan dan lingkungan perlu dimulai
dari tahap perencanaan proyek (project plan), kontrak, evaluasi
tender, konstruksi, sampai ke tahap pemeliharaan dan bahkan sampai ke perobohan
(demolition) (ECI,1995). Konsep rasional Total Safety Control adalah
suatu pengintegrasian tindakan manajemen dan tindakan pelaksanaan yang sinergis
untuk mempromosikan suatu proses konstruksi yang aman (Suraji,2004). Ada banyak
pendekatan dalam manajemen K3, diantaranya menurut OHSAS 18001, dan menurut TQM
di mana keselamatan merupakan suatu pusat dan focus integral dalam program
pengendalian mutu terpadu, Fiegenbaum (1991) yang harus ditingkatkan secara
terus menerus untuk memenuhi kepuasan pelanggan (intern-ekstern). Pada tulisan
ini akan dibahas dari fungsi-fungsi manajemen, sumber-sumber yang terlibat, dan
beberapa aspek yang relevan.
2. Tinjauan dari Fungsi-fungsi Manajemen
Apabila dilihat dari
fungsi-fungsi manajemen, terdapat fungsi perencanaan, organisasi, pelaksanaan,
dan pengawasan. Pada fungsi perencanaan, disamping terfokus pada tugas operasional
juga harus mencakup usaha-usaha keselamatan dan kesehatan kerja (K3), yang dipersiapkan
untuk pencegahan terjadinya kecelakaan. Tanggung jawab harus digariskan dengan
tegas agar tidak terjadi kesimpangsiuran yang justru dapat membahayakan.
Perlu pula menganalisis
bahaya-bahaya apa saja yang mungkin akan timbul pada suatu pekerjaan dan bagaimana
mengatasinya. Dalam suatu kontrak kerja pekerjaan keinsinyuran perlu dibuat
pasal – pasal yang mengatur secara preventif
keselamatan kerja
dengan menunjuk UU dan peraturan yang berlaku (Yasin: 2003). Sebagai contoh
menunjuk UU Ketenagakerjaan, UU Jamsostek, UU Kerja dan sebagainya).
Kontrakkontrak internasional (FIDIC, SIA, JTC) telah mencantumkan artikel atau
pasal tentang K3. Proses perencanaan keselamatan untuk masa depan (tahap
konstruksi) juga diusulkan oleh Chua DKH & YM Goh (2004)
Pada fungsi
organisasi, perlu dibentuk satuan tugas yang dapat melaksanakan K3 dengan baik.
Untuk itu perlu disediakan kantor yang mencukupi dan organisasi yang memadai.
Dalam suatu perusahaan perlu dibentuk P2K3 (Panitia Penyelenggara K3) yang
bertanggung jawab atas keselamatan dan kesehatan kerja di kegiatan industri.
Hinze & Figone (1988) menyarankan diselenggarakan safety meeting untuk
supervisor lapangan dan owner ikut dalam safety meeting, dan
pekerjakan supervisor keselamatan secara full-time. Liska et al. (1993) juga
mengusulkan adanya safety meeting. Pada fungsi pelaksanan, apa yang
telah direncanakan hendaknya dilaksanakan dengan baik. Karena kecelakaan yang
terjadi sebagian besar ditimbulkan oleh faktor manusia, manajemen dituntut
memberikan pengarahan pelaksanaan dan petunjuk yang jelas (directing) dan
koordinasi.
Banyak kecelakaan
terjadi karena pekerja masih baru dan belum familiar dengan proses dan alat
kerja. Untuk melaksanakan itu semua diperlukan ketrampilan manajemen antara
lain komunikasi dan kepemimpinan. Sehubungan dengan ini Liska et al. (1993)
mengusulkan Preproject Safety termasuk safety goal, safety policy
& procedure, safety personal, safety budget. Selanjutnya
dikatakan bahwa training dan insentive terhadap keselamatan punya pengaruh terhadap
pencegahan kecelakaan.
Fungsi pengawasan
merupakan fungsi yang penting karena merupakan tindakan control apakah semua
yang direncanakan itu telah dilaksanakan, dan apakah ada kendala dan persoalan-persoalan
yang perlu dicari penyelesaiannya.Untuk menjamin bahwa system manajemen K3
dilaksanakan dengan baik, pengawas dari Dep. Ketenagakerjaan melaksanakan
asesmen yang antara lain meliputi:
a)
pembangunan
dan pemeliharaan komitmen K3,
b)
strategi
dokumentasi dan pengendalian dokumen,
c)
keamanan
kerja dan sandart pemantauan,
d)
pelaporan
dan perbaikan kekurangan,
e)
pengumpulan
dan pemanfaatan data,
f)
peningkatan
kesadaran dan pelatihan karyawan/SDM
Sertifikat yang
menyatakan suatu perusahaan/kegiatan ekonomi telah menerapkan Sistem Manajemen
K3 dengan benar dan baik diterbitkan oleh pihak berwenang (Depnaker) dan
berlaku untuk 3 tahun. Selain itu, itu untuk menjamin konsistensi sistem
manajemen K3, dilaksanakan audit berkala oleh petugas berwenang. Pada setiap
minggu/bulan, perlu adanya meeting untuk membahas segala hal yang menyangkut
pelaksanaan K3 diperusahaan, sehingga semua informasi dan persoalan dapat
diketahui oleh seluruh bagian yang terkait
PEMBAHASAN
Sebagai suatu
kegiatan industri, proyek konstruksi mempunyai berbagai sumber (resources). Menurut
Harold Kerzner (1995), sumber-sumber itu adalah manusia, uang, peralatan,
fasilitas, material dan informasi. Beberapa ahli yang lain mengemukakan bahwa sumber-sumber
tersebut dapat disingkat menjadi 5M yaitu Man. Material, Money, Machine,
dan Method. Semua fungsi manajemen harus dikenakan kepada semua komponen
usaha tersebut. Pada aspek manusia, diperlukan perencanaan/ pengaturan tentang
jam kerja, istirahat kerja, pelatihan, dan pengarahan tentang K3.
Pada aspek uang,
diperlukan alokasi biaya untuk pencegahan kecelakaan. Saat ini biaya K3 belum
secara eksplisit tercantum dalam penawaran biaya proyek, sementara para kontraktor
sudah dibebani dengan biaya asuransi jaminan kecelakaan kerja. Menurut
Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. Kep-196/Men/1999 tentang penyelenggaraan
program jaminan sosial tenaga kerja bagi tenaga kerja harian lepas, borongan
dan perjanjian kerja waktu tertentu pada sektor jasa konstruksi.
Biaya langsung terdiri dari biaya medis, premi
untuk asuransi, kerugian hak milik, Oberlender (2000). Biaya tak langsung
adalah biaya tambahan lain, pengurangan produktivitas, keterlambatan jadwal,
bertambahnya waktu administratif, kerusakan fasilitas, dan hal yang makin sulit
diukur tetapi riil yaitu penderitaan manusia dan menurunnya moril, Levitt
(1993). Juga nama perusahaan akan terkena dampak buruk yang dapat berakibat
berkurangnya pelanggan yang jelas berpengaruh terhadap masuknya dana perusahaan.
Berdasarkan komponen
material dan mesin/ alat yang dipakai, haruslah digunakan yang sesuai dengan
standar yang disyaratkan. Penggunaan/pembuatan beton harus yang sesuai dengan
kekuatan yang ditetapkan oleh spesifikasi, karena penggunaan beton yang kurang
akan dapat menyebabkan kecelakaan baik selama tahap kontruksi maupun tahap pemanfaatan
bangunan. Begitu pula dengan material yang lain. Alat/mesin yang dipakai harus dijamin
yang masih dalam kondisi baik yang dibuktikan dengan perawatan yang teratur dan
sertifikat kemampuan alat yang masih berlaku. Keran (crane) dan rantai
baja misalnya harus betul-betul dicek dari segi keselamatan pemakaiannya. Metode
kerja/pelaksanaan berkembang karena tuntutan manusia untuk membangun di tempat-tempat
yang sulit dengan bentuk bentuk bangunan yang sangat bervariasi/sulit, serta keinginan
penggunaan dana yang minimal.
Metode
kerja/pelaksanaan yang diciptakan itu harus ditinjau dari segi keselamatan. Dengan
kata lain, alat-alat keselamatan apa yang harus disediakan dalam menggunakan
suatu metode pelaksanaan? Proyek proyek gedung Jakarta Tower, jembatan
Barelang, jembatan Suramadu dan proyek besar lainnya jelas memerlukan metode
pelaksanaan yang harus dikenali hazard yang ada sedini mungkin. Informasi,
merupakan sumber yang sekarang sampai masa datang sangat berperan dalam
pencegahan kecelakaan.
Informasi tentang
kecelakaan dan sebab-sebab nya dapat ditampung dalam suatu file yang terbuka
untuk umum sehingga para pelaksana/kontraktor suatupekerjaan dapat mengakses
informasi tentang kecelakaan yang timbul pada pekerjaan sejenis. Selanjutnya
mereka diharapkan dapat menghindari kecelakaan itu. Informasi-informasi tersebut
dapat dihimpun dalan suatu web-site sehingga semua pihak dapat mengakses
setiap saat. Perlunya dukungan computer-based system dalam bidang
Keselamatan dan Kesehatan Kerja telah diusulkan oleh Goh YM (2004).
KESIMPULAN
Dengan meningkatnya
penggunaan alat-alat yang lebih canggih dan tantangan pekerjaan teknik sipil
yang semakin sulit, maka angka kecelakaan kerja konstruksi bisa semakin tinggi.
Sedangkan pada pihak pekerja, kebutuhan akan keselamatan kian menjadi tuntutan
seiring dengan telah mulai terpenuhinya kebutuhan – kebutuhan dasar. Oleh
karena itu mulai sekarang harus ada usaha-usaha serius untuk mengurangi kecelakaan
kerja konstruksi. Manajemen K3 sangat berperan dalam pencegahan kecelakaan di
proyek konstruksi. Peran tersebut mulai dari perancanaan, pengorganisasian,
pelaksanaan, pengawasan. Selanjutnya dapat pula ditinjau dari komponen manusia,
material, uang, mesin/alat, metode kerja, informasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar