Otonomi Daerah Serta Permasalahannya Pada RUU Daerah Istimewa
Yogyakarta
Tengku Razil Kadri ( 5315102704 )
Disetujui
oleh dosen mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan
Martini,
SH.MH.
KATA PENGANTAR
Puji
dan syukur kita haturkan kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmatnya kami
dapat menyusun dan menyelesaikan makalah tentang “Otonomi Daerah Serta Permasalahannya Pada RUU
Daerah Istimewa Yogyakarta ”
Makalah
“Otonomi Daerah
Serta Permasalahannya Pada RUU Daerah Istimewa Yogyakarta ” ini disusun sebagai salah satu syarat
penilaian dalam mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan yang menjadi mata kuliah softskill, dengan
makalah ini mahasiswa menulis bisa dijadikan acuan bagi pembaca untuk menambah
pengetahuan di dunia kewarganegaraan ,khususnya mahasiswa/i teknik mesin.
Kami
mengakui adanya kekurangan dalam penyusunan makalah ini, untuk itu kami
mengharapkan adanya kritik dan saran dari para pembaca agar kami dapat
menyempurnakan penulisan makalah ini.
PEMBAHASAN
Otonomi Daerah Serta Permasalahannya Pada RUU Daerah Istimewa
Yogyakarta
Pengertian
Otonomi Daerah
Otonomi
daerah dapat
diartikan sebagai hak, wewenang, dan kewajiban yang diberikan kepada daerah
otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan
masyarakat setempat untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan
pemerintahan dalam rangka pelayanan terhadap masyarakat dan pelaksanaan
pembangunan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Sedangkan
yang dimaksud dengan daerah otonom adalah kesatuan masyarakat hukum yang
mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan
pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri
berdasarkan aspirasi masyarakat.
Permasalahan
RUU Daerah Istimewa Yogyakarta
Untuk kesekian kalinya
masalah keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta mengalami gonjang ganjing. Hal
ini dipicu oleh pernyataan Presiden SBY dalam sidang terbatas kabinet baru-baru
ini (26/11/2010). Presiden dalam arahannya menyatakan bahwa dalam pengaturan
DIY tidak mungkin Indonesia menerapkan sistem monarki, karena akan bertabrakan
baik dengan konstitusi maupun nilai demokrasi. Lebih lanjut SBY mengatakan
bahwa dalam penggodokan RUU DIY pemerintah berpijak pada tiga hal, yaitu pilar
sistem nasional yaitu negara kesatuan RI yang dalam UUD 1945; keistimewaan DIY
dari sejarah dari aspek lain yang memang harus diperlakukan secara khusus; dan
Indonesia merupakan negara hukum dan demokrasi.
Pernyataan Presiden tersebut tentu saja mendapat tanggapan dari berbagai pihak. Banyak yang mengatakan bahwa SBY kurang memahami nilai sejarah keistimewaan DIY, SBY ingin menghancurkan keistimewaan DIY, dan ada pula yang bersuara lantang bahwa SBY akan menghancurkan NKRI. Tak kurang Sri Sultan HB-X juga menyatakan bahwa dirinya bingung dengan pernyataan Presiden itu karena dalam draft RUU yang akan disampaikan Pemerintah kepada DPR ada hal-hal yang justru menurut ukuran Sultan jauh dari nuansa demokrasi. Reaksi keras dari pernyataan Presiden ini sebenarnya juga merupakan puncak erupsi kekesalan berbagai fihak, terutama masyarakat Yogyakarta.
Pernyataan Presiden tersebut tentu saja mendapat tanggapan dari berbagai pihak. Banyak yang mengatakan bahwa SBY kurang memahami nilai sejarah keistimewaan DIY, SBY ingin menghancurkan keistimewaan DIY, dan ada pula yang bersuara lantang bahwa SBY akan menghancurkan NKRI. Tak kurang Sri Sultan HB-X juga menyatakan bahwa dirinya bingung dengan pernyataan Presiden itu karena dalam draft RUU yang akan disampaikan Pemerintah kepada DPR ada hal-hal yang justru menurut ukuran Sultan jauh dari nuansa demokrasi. Reaksi keras dari pernyataan Presiden ini sebenarnya juga merupakan puncak erupsi kekesalan berbagai fihak, terutama masyarakat Yogyakarta.
RUU keistimewaan DIY ini
telah membuat banyak orang kelelahan sehingga layak kalau pernyataan SBY mudah
sekali memicu emosi Wong Yogya. Sudah hampir delapan tahun masalah RUU tidak
kunjung selesai. Ada beberapa puluh draft RUU yang berasal baik dari Pemda DIY,
kalangan keraton, LSM, maupun juga berasal dari beberapa anggota DPR, semuanya
loyo dalam pembahasan baik di tingkat Pemda maupun di tingkat Kementerian Dalam
Negeri. Konsultasi antara Pemda DIY dan Menteri Dalam Negeri maupun lobi
personal juga sudah dilakukan berkali-kali, namun hasil finalnya baru selesai
pada minggu yang lalu, yaitu yang dipaparkan oleh Menteri Dalam Negeri Gamawan
Fauzi. Padahal, kalau dirunut dari sejarah Yogyakarta, masalah pengaturan
keistimewaan DIY memang tidak mungkin terlepas dari kemonarkian. Sebagaimana
kita ketahui, ada dua kerajaan yang sampai saat ini masih eksis, yaitu
Kasultanan Yogyakarta dan Kadipaten Paku Alaman.
Kedua kerajaan ini masih
berkuasa penuh pada waktu NKRI belum berdiri, baik secara politik, sosial,
maupun budaya. Kekuasaan secara politik baru berakhir setelah Sultan HB IX dan
Adipati Paku Alam VIII menyatakan bergabung dengan NKRI melalui Maklumat Sultan
Yogyakarta dan Adipati Paku Alam tanggal 5 September 1945. Pemerintah NKRI
kemudian merespon secara yuridis formal pengintegrasian kedua kerajaan tersebut
dengan menerbitkan UU no 3/1950 tentang Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta.
UU ini diyakini sebagai bentuk penghormatan terhadap ketulusan dan komitmen
Yogyakarta berintegrasi dengan Indonesia ketimbang pemberian keistimewaan oleh
otoritas politik nasional. Dengan pola pikir sejarah pengintegrasian Yogyakarta
ke NKRI di atas, maka sebenarnya model keistimewaan yang diusulkan dalam draft
RUU-KDIY tersebut sangat minimalis.
Lembaga ”superbodi
keistimewaan” yang disebut Parardhya masih belum cukup atau belum sepadan
sebagai ’tebusan’ atau ’rewards’ pengorbanan kedua kerajaan tersebut pada awal
kemerdekaan RI. Sultan Yogyakarta dan Adipati Paku Alam yang diposisikan
sebagai Parardhya meskipun mempunyai posisi tinggi namun dalam beberapa hal
dibatasi hanya dalam beberapa kekuasaan di pemerintahan, yaitu hanya sebatas
menyetujui maupun menolak bakal calon Gubernur dan Wakil Gubernur DIY,
berwenang memberi arahan tentang kebijakan dan penetapan kelembagaan pemerintah
Provinsi DIY di bidang pertanahan, penataan ruang dan kebudayaan. Disamping
itu, Parardhya juga berwenang menyetujui maupun menolak Rancangan Peraturan
Daerah Istimewa (Perdais) yang telah disetujui Gubernur bersama DPRD DIY.
Yang lebih mencengangkan dalam konsep ini adalah adanya hak immunitas atau kekebalan hukum yang diberikan kepada Parardhya yang nyata-nyata sangat bertentangan dengan demokrasi. Hak politik Parardhya pun juga dieliminasi dengan melarang menjadi pengurus dan anggota partai politik. Dengan struktur pemerintahan sebagaimana disebutkan diatas, praktis Parardhya tidak mempunyai kekuasaan lagi di bidang pemerintahan.
Yang lebih mencengangkan dalam konsep ini adalah adanya hak immunitas atau kekebalan hukum yang diberikan kepada Parardhya yang nyata-nyata sangat bertentangan dengan demokrasi. Hak politik Parardhya pun juga dieliminasi dengan melarang menjadi pengurus dan anggota partai politik. Dengan struktur pemerintahan sebagaimana disebutkan diatas, praktis Parardhya tidak mempunyai kekuasaan lagi di bidang pemerintahan.
Ternyata Parardhya memang
didesain hanya berfungsi sebagai simbol, pelindung dan penjaga budaya, serta
pengayom dan pemersatu masyarakat Daerah Istimewa Yogyakarta sebagaimana
diuraikan dalam naskah akademis RUU-KDIY. Dan yang menjadi dasar ketidakpuasan
masyarakat Yogya adalah terletak pada introduksi lembaga Parardhya itu sendiri,
karena mau tidak mau Sultan HB X dan Paku Alam IX harus melepaskan jabatan
sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur DIY, karena kedua jabatan ini diserahkan ke
pasar bebas, yaitu siapapun dapat menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur melalui
proses pemilukada secara langsung.
Padahal, masalah
keistimewaan DIY ini sebenarnya dapat diselesaikan secara sederhana tanpa harus
membuang energi yang berlebihan, baik secara sosial, kultural, maupun politik.
Pokok permasalahan sebenarnya justru terletak pada kekurangjelasan pengaturan
peraturan perundangan mengenai otonomi daerah yang terakhir diatur dalam UU
32/2004, terutama pengaturan peran ganda gubernur, baik sebagai kepala daerah
maupun sebagai wakil pemerintah di daerah. Berdasarkan filosofi dasar
pemerintahan daerah otonom, sebutan ”Gubernur” adalah kepala daerah otonom
sesuai dengan batas kewenangannya, sedangkan ”wakil pemerintah di daerah”
adalah kepala wilayah yang membawahi provinsi, kabupaten dan kota yang berada
di wilayah provinsi tersebut.
Kekuasaan Gubernur sebagai
kepala daerah hanya sebatas kewenangan di provinsi yang diatur dalam PP 38/2007
mengenai pembagian kewenangan antara Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan
Pemerintah Kabupaten/Kota. Artinya, kewenangan Gubernur, sekali lagi sebagai
kepala daerah, tidak dapat menjangkau ke Kabupaten/Kota, karena Bupati/Walikota
tidak bertanggungjawab kepada Gubernur, melainkan kepada DPRD Kabupaten/Kota
yang bersangkutan.
Kekuasaan dan kedudukan
Gubernur di wilayah provinsi barulah sangat besar bila disertai dengan
kekuasaan dan kedudukan sebagai wakil pemerintah di daerah. Hal ini secara
jelas diatur dalam pasa 37 ayat (1) UU 32/2004 yang berbunyi “(1) Gubernur yang
karena jabatannya berkedudukan juga sebagai wakil Pemerintah di wilayah
provinsi yang bersangkutan; (2) Dalam kedudukannya sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), Gubernur bertanggung jawab kepada Presiden”. Peran ini kemudian
dijabarkan dalam PP 19/2010 tentang Tatacara Pelaksanaan Tugas dan Wewenang
serta Kedudukan Keuangan Gubernur Sebagai Wakil Pemerintah di Wilayah Provinsi.
Kekuasaan Gubernur sebagai kepala daerah dengan demikian terangkat oleh posisi
Gubernur sebagai wakil pemerintah.
Kekuasaan ini sangat besar
karena otomatis dia adalah kepala wilayah di provinsi tersebut, jauh melebihi
kekuasaan seorang kepala daerah baik itu Gubernur, Bupati, maupun Walikota. Dalam
konteks DIY, pengaturan keistimewaan DIY yang adil dan sepadan dengan jasa
kedua kerajaan tersebut dengan demikian sebenarnya dapat dilakukan dengan cara
mengangkat Sultan Yogyakarta dan Adipati Paku Alam sebagai wakil pemerintah di
daerah (yang berkedudukan juga sebagai kepala wilayah). Hal ini dapat dilakukan
dengan cara memisahkan tugas, wewenang, dan kedudukan gubernur yang menurut UU
32/2004 bertindak sebagai kepala daerah dan wakil pemerintah di daerah.
Apabila hal ini disepakati sebagai solusi,
maka langkah yang harus dilakukan adalah dengan cara mengoreksi perundangan
jangka pendek dan mengoreksi perundangan jangka panjang. Koreksi perundangan
jangka pendek dapat dilakukan dengan cara: Pertama, dalam penyempurnaan UU
32/2004 yang juga sedang disiapkan oleh pemerintah sekarang ini, gubernur
sebagai kepala daerah tetap berkedudukan sebagai wakil pemerintah di wilayah
yang bersangkutan (sebagaimana diatur di Pasal 37 Ayat (1) UU 32/2004).
Namun agar dapat
memfasilitasi penyelesaian keistimewaan DIY, perlu penambahan satu pasal
tambahan yang mengecualikan Gubernur DIY bukan sebagai wakil pemerintah,
misalnya dengan kalimat: ”Dalam hal tertentu Presiden dapat menunjuk wakil
pemerintah di daerah kepada selain gubernur”. Pengecualian ini akan memberi
ruang kepada Presiden untuk menunjuk Sultan Yogyakarta dan Adipati Paku Alam
(atau kerabatnya yang dipandang mampu) sebagai wakil pemerintah di wilayah DIY,
sekali lagi otomatis sebagai kepala wilayah. Dengan demikian gubernur DIY yang
akan dipilih melalui pemilukada secara langsung nantinya hanya berkedudukan
sebagai kepala daerah saja sebatas kewenangannya, dan tidak sebagai wakil
pemerintah di daerah.
Pemberian jabatan kepala wilayah ini kiranya bisa dianggap adil karena sejalan dengan sejarah sosial politik dan UUD 1945 itu sendiri yang mengakui Kasultanan Yogyakarta dan Kadipaten Paku Alam sebagai bagian dari NKRI yang dituangkan dalam UU 3/1950. Secara teknis penyusunan perundangan, kalau RUU-KDIY ini sangat mendesak untuk diterbitkan, maka Presiden dengan mudah dapat menerbikan Peraturan Pemerintah Pengganti UU atau Perppu. Kedua, peran, tugas, dan wewenang kepala wilayah DIY yang akan dimuat dalam RUU-KDIY tidak perlu mencari-cari sebagaimana halnya peran, tugas, dan wewenang yang diusulkan dalam Parardhya, dengan mudah tinggal copy - paste saja dari pasal-pasal dalam PP 19/2010 tentang Tatacara Pelaksanaan Tugas dan Wewenang serta Kedudukan Keuangan Gubernur Sebagai Wakil Pemerintah di Wilayah Provinsi.
Pemberian jabatan kepala wilayah ini kiranya bisa dianggap adil karena sejalan dengan sejarah sosial politik dan UUD 1945 itu sendiri yang mengakui Kasultanan Yogyakarta dan Kadipaten Paku Alam sebagai bagian dari NKRI yang dituangkan dalam UU 3/1950. Secara teknis penyusunan perundangan, kalau RUU-KDIY ini sangat mendesak untuk diterbitkan, maka Presiden dengan mudah dapat menerbikan Peraturan Pemerintah Pengganti UU atau Perppu. Kedua, peran, tugas, dan wewenang kepala wilayah DIY yang akan dimuat dalam RUU-KDIY tidak perlu mencari-cari sebagaimana halnya peran, tugas, dan wewenang yang diusulkan dalam Parardhya, dengan mudah tinggal copy - paste saja dari pasal-pasal dalam PP 19/2010 tentang Tatacara Pelaksanaan Tugas dan Wewenang serta Kedudukan Keuangan Gubernur Sebagai Wakil Pemerintah di Wilayah Provinsi.
Untuk diketahui, tugas,
wewenang, dan tanggung jawab wakil pemerintah di daerah berdasar PP 19/2010
antara lain membina, mengawasi dan mengkoordinasikan pemerintahan se wilayah
provinsi baik instansi vertikal maupun pemeritah kabupaten/kota, membatalkan
peraturan daerah provinsi/kabupaten/kota dan peraturan kepala daerah,
menyetujui Rencana Tata Ruang Wilayah, mengevaluasi RAPBD, mengkoordinasi
pembangunan di wilayah provinsi, mengkoordinasikan instansi vertikal, dan
sebagainya.
Dengan mengadopsi PP 19/2010
ke dalam RUU-KDIY tersebut, maka Pemerintah tidak perlu mencari bentuk semacam
lembaga Parardhya lagi, karena peran, hak, dan tanggungjawab lembaga Parardhya
yang diusulkan dalam draft RUU DIY sekarang ini disamping hanya meliputi
beberapa peran yang kurang jelas dasar hukumnya, juga mau tidak mau akan
menjadi perdebatan panjang antara pemerintah dan DPR karena belum ada model
yang bisa dijadikan sebagai acuan.
Dengan arsitektur yang
diusulkan ini, segenap masyarakat Yogya diharapkan akan sepakat dan ”ora
patheken” bila pengisian Gubernur dan Wakil Gubernur DIY dipilih langsung
melalui pemilukada karena yang akan menjadi Gubernur dan wakil Gubernur toch
sudah pasti bukan Sultan Yogya dan Adipati Paku Alam lagi. Sultan Yogya dan
Adipati Paku Alam secara yuridis formal dan sosio kultural dalam kedudukannya
sebagai kepala wilayah bagaimanapun akan mempiunyai grip yang jauh lebih tinggi
dibanding Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi DIY. Beliau tetap diyakini
sebagai ”Ayatullah” atau ”the Real Leader” Wong Yogya dengan segala atribut
kekuasaannya yang sejalan dengan UUD 1945 dan filosofi penataan otonomi daerah.
Kata iklan: ”Siapapun Gubernur DIYnya, Sultan Yogya dan Adipati Paku Alam
Kepala Wilayahnya”
Dalam jangka panjang, koreksi perundangan yang menyangkut wakil pemerintah di daerah bagaimanapun juga harus dilakukan, terutama dengan melakukan amandemen UUD 1945, yaitu memasukkan pasal tentang adanya lembaga ”wakil pemerintah di daerah’, sejajar dengan pembantu Presiden yang lain, disebutkan antara lain adalah duta dan konsul (Pasal 13), dewan pertimbangan (presiden) (Pasal 16), dan menteri-menteri negara (Pasal 17). Tidak satu pasalpun dalam UUD 1945 mengatur tentang Wakil Pemerintah di Daerah sebagai pembantu Presiden, apalagi peran, fungsi, dan tugasnya.
Dalam jangka panjang, koreksi perundangan yang menyangkut wakil pemerintah di daerah bagaimanapun juga harus dilakukan, terutama dengan melakukan amandemen UUD 1945, yaitu memasukkan pasal tentang adanya lembaga ”wakil pemerintah di daerah’, sejajar dengan pembantu Presiden yang lain, disebutkan antara lain adalah duta dan konsul (Pasal 13), dewan pertimbangan (presiden) (Pasal 16), dan menteri-menteri negara (Pasal 17). Tidak satu pasalpun dalam UUD 1945 mengatur tentang Wakil Pemerintah di Daerah sebagai pembantu Presiden, apalagi peran, fungsi, dan tugasnya.
Selanjutnya, disusun sebuah
UU yang mengatur hak, wewenang, dan tanggungjawab wakil pemerintah di daerah.
UU ini mempunyai kedudukan yang sejajar dengan UU mengenai pemerintahan daerah.
Kalau langkah koreksi pengaturan jangka panjang terhadap wakil pemerintah
segera dilakukan, maka permasalahan-permasahan seperti halnya keistimewaan DIY
dapat dengan mudah diselesaikan tanpa harus menimbulkan konflik atau polemik
penjang. Jelasnya, dengan pengaturan yang baru ini Gubernur DIY akan memimpin
daerah sesuai dengan batas kewenangannya (yaitu sebagai kepala Daerah Provinsi),
sedangkan Sultan Yogyakarta dan Adipati Paku Alam akan berkedudukan sebagai
wakil pemerintah atau kepala wilayah di provinsi DIY yang mempunyai kekuasaan
yang jauh lebih strategis dibanding Parardhya.
KESIMPULAN
Makalah ini dapat meningkatkan pengetahuan tentang Otonomi Daerah Serta Permasalahannya Pada RUU Daerah Istimewa Yogyakarta . Dalam pembuatan makalah ini, mahasiswa dituntut supaya bersifat mandiri untuk meningkatkan pengetahuan yang berguna dan membawa kemajuan kepada kehidupan sehari-hari. Mahasiswa juga dapat menimba pengetahuan dan mengenal pengertian ideologi Negara serta permasalahannya pada RUU Daerah Istimewa Yogyakarta lebih mendalam.
Secara umumnya, Otonomi daerah
dapat diartikan sebagai hak, wewenang, dan kewajiban yang diberikan kepada
daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan
kepentingan masyarakat setempat untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna
penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka pelayanan terhadap masyarakat dan pelaksanaan
pembangunan, otonomi daerah yang sampai saat ini masih di permasalahkan adalah
tentang RUU Daerah Istimewa Yogyakarta yang menjadikan konflik cukup serius
terhadap Presiden,masyarakat indonesia serta masyarakat Indonesia yang
bertempat tinggal di Yogyakarta.
Kesimpulannya, makalah ini
yang baik haruslah mempunyai harapan-harapan yang tinggi, mudah dimengerti dan
supaya dapat diterima oleh para pembaca. Makalah ini telah mencapai aspek-aspek
yang telah dikemukakan dan berpotensi untuk menjadi pengetahuan yang popular
dikalangan masyarakat sekarang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar