Jumat, 24 Mei 2013

Otonomi Daerah Serta Permasalahannya Pada RUU Daerah Istimewa Yogyakarta



Otonomi Daerah Serta Permasalahannya Pada RUU Daerah Istimewa Yogyakarta

                                       

                                                Tengku Razil Kadri ( 5315102704 )

      


Disetujui oleh dosen mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan




Martini, SH.MH.

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kita haturkan kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmatnya kami dapat menyusun dan menyelesaikan makalah tentang “Otonomi Daerah Serta Permasalahannya Pada RUU Daerah Istimewa Yogyakarta ”
Makalah “Otonomi Daerah Serta Permasalahannya Pada RUU Daerah Istimewa Yogyakarta ”  ini disusun sebagai salah satu syarat penilaian dalam mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan  yang menjadi mata kuliah softskill, dengan makalah ini mahasiswa menulis bisa dijadikan acuan bagi pembaca untuk menambah pengetahuan di dunia kewarganegaraan ,khususnya mahasiswa/i teknik mesin.
Kami mengakui adanya kekurangan dalam penyusunan makalah ini, untuk itu kami mengharapkan adanya kritik dan saran dari para pembaca agar kami dapat menyempurnakan penulisan makalah ini.



PEMBAHASAN


Otonomi Daerah Serta Permasalahannya Pada RUU Daerah Istimewa Yogyakarta

Pengertian Otonomi Daerah
Otonomi daerah dapat diartikan sebagai hak, wewenang, dan kewajiban yang diberikan kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka pelayanan terhadap masyarakat dan pelaksanaan pembangunan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Sedangkan yang dimaksud dengan daerah otonom adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat.

Permasalahan RUU Daerah Istimewa Yogyakarta
Untuk kesekian kalinya masalah keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta mengalami gonjang ganjing. Hal ini dipicu oleh pernyataan Presiden SBY dalam sidang terbatas kabinet baru-baru ini (26/11/2010). Presiden dalam arahannya menyatakan bahwa dalam pengaturan DIY tidak mungkin Indonesia menerapkan sistem monarki, karena akan bertabrakan baik dengan konstitusi maupun nilai demokrasi. Lebih lanjut SBY mengatakan bahwa dalam penggodokan RUU DIY pemerintah berpijak pada tiga hal, yaitu pilar sistem nasional yaitu negara kesatuan RI yang dalam UUD 1945; keistimewaan DIY dari sejarah dari aspek lain yang memang harus diperlakukan secara khusus; dan Indonesia merupakan negara hukum dan demokrasi.

Pernyataan Presiden tersebut tentu saja mendapat tanggapan dari berbagai pihak. Banyak yang mengatakan bahwa SBY kurang memahami nilai sejarah keistimewaan DIY, SBY ingin menghancurkan keistimewaan DIY, dan ada pula yang bersuara lantang bahwa SBY akan menghancurkan NKRI. Tak kurang Sri Sultan HB-X juga menyatakan bahwa dirinya bingung dengan pernyataan Presiden itu karena dalam draft RUU yang akan disampaikan Pemerintah kepada DPR ada hal-hal yang justru menurut ukuran Sultan jauh dari nuansa demokrasi.  Reaksi keras dari pernyataan Presiden ini sebenarnya juga merupakan puncak erupsi kekesalan berbagai fihak, terutama masyarakat Yogyakarta.
RUU keistimewaan DIY ini telah membuat banyak orang kelelahan sehingga layak kalau pernyataan SBY mudah sekali memicu emosi Wong Yogya. Sudah hampir delapan tahun masalah RUU tidak kunjung selesai. Ada beberapa puluh draft RUU yang berasal baik dari Pemda DIY, kalangan keraton, LSM, maupun juga berasal dari beberapa anggota DPR, semuanya loyo dalam pembahasan baik di tingkat Pemda maupun di tingkat Kementerian Dalam Negeri. Konsultasi antara Pemda DIY dan Menteri Dalam Negeri maupun lobi personal juga sudah dilakukan berkali-kali, namun hasil finalnya baru selesai pada minggu yang lalu, yaitu yang dipaparkan oleh Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi. Padahal, kalau dirunut dari sejarah Yogyakarta, masalah pengaturan keistimewaan DIY memang tidak mungkin terlepas dari kemonarkian. Sebagaimana kita ketahui, ada dua kerajaan yang sampai saat ini masih eksis, yaitu Kasultanan Yogyakarta dan Kadipaten Paku Alaman.
Kedua kerajaan ini masih berkuasa penuh pada waktu NKRI belum berdiri, baik secara politik, sosial, maupun budaya. Kekuasaan secara politik baru berakhir setelah Sultan HB IX dan Adipati Paku Alam VIII menyatakan bergabung dengan NKRI melalui Maklumat Sultan Yogyakarta dan Adipati Paku Alam tanggal 5 September 1945. Pemerintah NKRI kemudian merespon secara yuridis formal pengintegrasian kedua kerajaan tersebut dengan menerbitkan UU no 3/1950 tentang Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta. UU ini diyakini sebagai bentuk penghormatan terhadap ketulusan dan komitmen Yogyakarta berintegrasi dengan Indonesia ketimbang pemberian keistimewaan oleh otoritas politik nasional. Dengan pola pikir sejarah pengintegrasian Yogyakarta ke NKRI di atas, maka sebenarnya model keistimewaan yang diusulkan dalam draft RUU-KDIY tersebut sangat minimalis.
Lembaga ”superbodi keistimewaan” yang disebut Parardhya masih belum cukup atau belum sepadan sebagai ’tebusan’ atau ’rewards’ pengorbanan kedua kerajaan tersebut pada awal kemerdekaan RI. Sultan Yogyakarta dan Adipati Paku Alam yang diposisikan sebagai Parardhya meskipun mempunyai posisi tinggi namun dalam beberapa hal dibatasi hanya dalam beberapa kekuasaan di pemerintahan, yaitu hanya sebatas menyetujui maupun menolak bakal calon Gubernur dan Wakil Gubernur DIY, berwenang memberi arahan tentang kebijakan dan penetapan kelembagaan pemerintah Provinsi DIY di bidang pertanahan, penataan ruang dan kebudayaan. Disamping itu, Parardhya juga berwenang menyetujui maupun menolak Rancangan Peraturan Daerah Istimewa (Perdais) yang telah disetujui Gubernur bersama DPRD DIY.

Yang lebih mencengangkan dalam konsep ini adalah adanya hak immunitas atau kekebalan hukum yang diberikan kepada Parardhya yang nyata-nyata sangat bertentangan dengan demokrasi. Hak politik Parardhya pun juga dieliminasi dengan melarang menjadi pengurus dan anggota partai politik. Dengan struktur pemerintahan sebagaimana disebutkan diatas, praktis Parardhya tidak mempunyai kekuasaan lagi di bidang pemerintahan.
Ternyata Parardhya memang didesain hanya berfungsi sebagai simbol, pelindung dan penjaga budaya, serta pengayom dan pemersatu masyarakat Daerah Istimewa Yogyakarta sebagaimana diuraikan dalam naskah akademis RUU-KDIY. Dan yang menjadi dasar ketidakpuasan masyarakat Yogya adalah terletak pada introduksi lembaga Parardhya itu sendiri, karena mau tidak mau Sultan HB X dan Paku Alam IX harus melepaskan jabatan sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur DIY, karena kedua jabatan ini diserahkan ke pasar bebas, yaitu siapapun dapat menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur melalui proses pemilukada secara langsung.
Padahal, masalah keistimewaan DIY ini sebenarnya dapat diselesaikan secara sederhana tanpa harus membuang energi yang berlebihan, baik secara sosial, kultural, maupun politik. Pokok permasalahan sebenarnya justru terletak pada kekurangjelasan pengaturan peraturan perundangan mengenai otonomi daerah yang terakhir diatur dalam UU 32/2004, terutama pengaturan peran ganda gubernur, baik sebagai kepala daerah maupun sebagai wakil pemerintah di daerah. Berdasarkan filosofi dasar pemerintahan daerah otonom, sebutan ”Gubernur” adalah kepala daerah otonom sesuai dengan batas kewenangannya, sedangkan ”wakil pemerintah di daerah” adalah kepala wilayah yang membawahi provinsi, kabupaten dan kota yang berada di wilayah provinsi tersebut.
Kekuasaan Gubernur sebagai kepala daerah hanya sebatas kewenangan di provinsi yang diatur dalam PP 38/2007 mengenai pembagian kewenangan antara Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota. Artinya, kewenangan Gubernur, sekali lagi sebagai kepala daerah, tidak dapat menjangkau ke Kabupaten/Kota, karena Bupati/Walikota tidak bertanggungjawab kepada Gubernur, melainkan kepada DPRD Kabupaten/Kota yang bersangkutan.
Kekuasaan dan kedudukan Gubernur di wilayah provinsi barulah sangat besar bila disertai dengan kekuasaan dan kedudukan sebagai wakil pemerintah di daerah. Hal ini secara jelas diatur dalam pasa 37 ayat (1) UU 32/2004 yang berbunyi “(1) Gubernur yang karena jabatannya berkedudukan juga sebagai wakil Pemerintah di wilayah provinsi yang bersangkutan; (2) Dalam kedudukannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Gubernur bertanggung jawab kepada Presiden”. Peran ini kemudian dijabarkan dalam PP 19/2010 tentang Tatacara Pelaksanaan Tugas dan Wewenang serta Kedudukan Keuangan Gubernur Sebagai Wakil Pemerintah di Wilayah Provinsi. Kekuasaan Gubernur sebagai kepala daerah dengan demikian terangkat oleh posisi Gubernur sebagai wakil pemerintah.
Kekuasaan ini sangat besar karena otomatis dia adalah kepala wilayah di provinsi tersebut, jauh melebihi kekuasaan seorang kepala daerah baik itu Gubernur, Bupati, maupun Walikota. Dalam konteks DIY, pengaturan keistimewaan DIY yang adil dan sepadan dengan jasa kedua kerajaan tersebut dengan demikian sebenarnya dapat dilakukan dengan cara mengangkat Sultan Yogyakarta dan Adipati Paku Alam sebagai wakil pemerintah di daerah (yang berkedudukan juga sebagai kepala wilayah). Hal ini dapat dilakukan dengan cara memisahkan tugas, wewenang, dan kedudukan gubernur yang menurut UU 32/2004 bertindak sebagai kepala daerah dan wakil pemerintah di daerah.
 Apabila hal ini disepakati sebagai solusi, maka langkah yang harus dilakukan adalah dengan cara mengoreksi perundangan jangka pendek dan mengoreksi perundangan jangka panjang. Koreksi perundangan jangka pendek dapat dilakukan dengan cara: Pertama, dalam penyempurnaan UU 32/2004 yang juga sedang disiapkan oleh pemerintah sekarang ini, gubernur sebagai kepala daerah tetap berkedudukan sebagai wakil pemerintah di wilayah yang bersangkutan (sebagaimana diatur di Pasal 37 Ayat (1) UU 32/2004).
Namun agar dapat memfasilitasi penyelesaian keistimewaan DIY, perlu penambahan satu pasal tambahan yang mengecualikan Gubernur DIY bukan sebagai wakil pemerintah, misalnya dengan kalimat: ”Dalam hal tertentu Presiden dapat menunjuk wakil pemerintah di daerah kepada selain gubernur”. Pengecualian ini akan memberi ruang kepada Presiden untuk menunjuk Sultan Yogyakarta dan Adipati Paku Alam (atau kerabatnya yang dipandang mampu) sebagai wakil pemerintah di wilayah DIY, sekali lagi otomatis sebagai kepala wilayah. Dengan demikian gubernur DIY yang akan dipilih melalui pemilukada secara langsung nantinya hanya berkedudukan sebagai kepala daerah saja sebatas kewenangannya, dan tidak sebagai wakil pemerintah di daerah.

Pemberian jabatan kepala wilayah ini kiranya bisa dianggap adil karena sejalan dengan sejarah sosial politik dan UUD 1945 itu sendiri yang mengakui Kasultanan Yogyakarta dan Kadipaten Paku Alam sebagai bagian dari NKRI yang dituangkan dalam UU 3/1950. Secara teknis penyusunan perundangan, kalau RUU-KDIY ini sangat mendesak untuk diterbitkan, maka Presiden dengan mudah dapat menerbikan Peraturan Pemerintah Pengganti UU atau Perppu. Kedua, peran, tugas, dan wewenang kepala wilayah DIY yang akan dimuat dalam RUU-KDIY tidak perlu mencari-cari sebagaimana halnya peran, tugas, dan wewenang yang diusulkan dalam Parardhya, dengan mudah tinggal copy - paste saja dari pasal-pasal dalam PP 19/2010 tentang Tatacara Pelaksanaan Tugas dan Wewenang serta Kedudukan Keuangan Gubernur Sebagai Wakil Pemerintah di Wilayah Provinsi.
Untuk diketahui, tugas, wewenang, dan tanggung jawab wakil pemerintah di daerah berdasar PP 19/2010 antara lain membina, mengawasi dan mengkoordinasikan pemerintahan se wilayah provinsi baik instansi vertikal maupun pemeritah kabupaten/kota, membatalkan peraturan daerah provinsi/kabupaten/kota dan peraturan kepala daerah, menyetujui Rencana Tata Ruang Wilayah, mengevaluasi RAPBD, mengkoordinasi pembangunan di wilayah provinsi, mengkoordinasikan instansi vertikal, dan sebagainya.
Dengan mengadopsi PP 19/2010 ke dalam RUU-KDIY tersebut, maka Pemerintah tidak perlu mencari bentuk semacam lembaga Parardhya lagi, karena peran, hak, dan tanggungjawab lembaga Parardhya yang diusulkan dalam draft RUU DIY sekarang ini disamping hanya meliputi beberapa peran yang kurang jelas dasar hukumnya, juga mau tidak mau akan menjadi perdebatan panjang antara pemerintah dan DPR karena belum ada model yang bisa dijadikan sebagai acuan.
Dengan arsitektur yang diusulkan ini, segenap masyarakat Yogya diharapkan akan sepakat dan ”ora patheken” bila pengisian Gubernur dan Wakil Gubernur DIY dipilih langsung melalui pemilukada karena yang akan menjadi Gubernur dan wakil Gubernur toch sudah pasti bukan Sultan Yogya dan Adipati Paku Alam lagi. Sultan Yogya dan Adipati Paku Alam secara yuridis formal dan sosio kultural dalam kedudukannya sebagai kepala wilayah bagaimanapun akan mempiunyai grip yang jauh lebih tinggi dibanding Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi DIY. Beliau tetap diyakini sebagai ”Ayatullah” atau ”the Real Leader” Wong Yogya dengan segala atribut kekuasaannya yang sejalan dengan UUD 1945 dan filosofi penataan otonomi daerah. Kata iklan: ”Siapapun Gubernur DIYnya, Sultan Yogya dan Adipati Paku Alam Kepala Wilayahnya”

Dalam jangka panjang, koreksi perundangan yang menyangkut wakil pemerintah di daerah bagaimanapun juga harus dilakukan, terutama dengan melakukan amandemen UUD 1945, yaitu memasukkan pasal tentang adanya lembaga ”wakil pemerintah di daerah’, sejajar dengan pembantu Presiden yang lain, disebutkan antara lain adalah duta dan konsul (Pasal 13), dewan pertimbangan (presiden) (Pasal 16), dan menteri-menteri negara (Pasal 17). Tidak satu pasalpun dalam UUD 1945 mengatur tentang Wakil Pemerintah di Daerah sebagai pembantu Presiden, apalagi peran, fungsi, dan tugasnya.


Selanjutnya, disusun sebuah UU yang mengatur hak, wewenang, dan tanggungjawab wakil pemerintah di daerah. UU ini mempunyai kedudukan yang sejajar dengan UU mengenai pemerintahan daerah. Kalau langkah koreksi pengaturan jangka panjang terhadap wakil pemerintah segera dilakukan, maka permasalahan-permasahan seperti halnya keistimewaan DIY dapat dengan mudah diselesaikan tanpa harus menimbulkan konflik atau polemik penjang. Jelasnya, dengan pengaturan yang baru ini Gubernur DIY akan memimpin daerah sesuai dengan batas kewenangannya (yaitu sebagai kepala Daerah Provinsi), sedangkan Sultan Yogyakarta dan Adipati Paku Alam akan berkedudukan sebagai wakil pemerintah atau kepala wilayah di provinsi DIY yang mempunyai kekuasaan yang jauh lebih strategis dibanding Parardhya.


 
KESIMPULAN

Makalah ini dapat meningkatkan pengetahuan tentang Otonomi Daerah Serta Permasalahannya Pada RUU Daerah Istimewa Yogyakarta . Dalam pembuatan makalah ini, mahasiswa dituntut supaya bersifat mandiri untuk meningkatkan pengetahuan yang berguna dan membawa kemajuan kepada kehidupan sehari-hari. Mahasiswa juga dapat menimba pengetahuan dan mengenal pengertian ideologi Negara serta permasalahannya pada RUU Daerah Istimewa Yogyakarta lebih mendalam.
Secara umumnya, Otonomi daerah dapat diartikan sebagai hak, wewenang, dan kewajiban yang diberikan kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka pelayanan terhadap masyarakat dan pelaksanaan pembangunan, otonomi daerah yang sampai saat ini masih di permasalahkan adalah tentang RUU Daerah Istimewa Yogyakarta yang menjadikan konflik cukup serius terhadap Presiden,masyarakat indonesia serta masyarakat Indonesia yang bertempat tinggal di Yogyakarta.
Kesimpulannya, makalah ini yang baik haruslah mempunyai harapan-harapan yang tinggi, mudah dimengerti dan supaya dapat diterima oleh para pembaca. Makalah ini telah mencapai aspek-aspek yang telah dikemukakan dan berpotensi untuk menjadi pengetahuan yang popular dikalangan masyarakat sekarang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar